Thursday, April 26, 2012

I had a lecture with  Prof. Mundahardjito yesterday. He gave us some sophisticated words for culture:
Culture is uniquely human, 
Culture is learned,
Culture is social, 
Culture is shared, 
Culture is patterned, 
Culture is a system, 
Culture is man's adaptive means/system

Those are the reasons why we have to respect our culture, the ancestor's  heritages.

Saturday, April 14, 2012

Kenapa Eropa??

Beberapa orang pernah bertanya pada saya, "Kenapa kamu ambil jurusan itu?" atau "Kok kamu malah mempelajari negara lain? Indonesia aja belum tamat..!" Pertanyaan-pertanyaan itu memang harusnya terlontar dari orang-orang berkaitan dengan studi yang saya jalani saat ini. Saya kini mengambil studi S2 di Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia, dengan konsentrasi Hubungan Internasional-Jurusan Kajian Wilayah Eropa.

Peminat di jurusan ini lumayan banyak, namun rata-rata maksimal hanya 8 orang yang diterima dalam setiap term. Dan mereka pun memiliki latar belakang pendidikan yang beragam. Ada yang dari HI, jurusan bahasa, politik, hukum, bahkan ada yang dari jurusan pendidikan. Dan sebenarnya di program KWE ini ada tiga konsentrasi yang berbeda, HI, Budaya, Ekonomi, dan Hukum. Alhamdulillah, dosen-dosen pengajarnya, walaupun dari Indonesia, juga merupakan orang-orang hebat yang sudah terbukti kualitasnya di tingkat internasional.


Terkait dengan judul post ini, saya ingin mengungkapkan bahwa, dalam pemikiran saya, terkait dengan persatuannya, Eropa selaras dengan Indonesia. Benua Eropa yang terdiri dari 50 negara yang memiliki beragam warisan budaya, sejarah, pandangan hidup, politik dan keadaan ekonomi masyarakatnya. Namun, mereka kini memiliki satu wadah yang bernama Uni Eropa, dimana mereka ingin bersama-sama memajukan bangsa Eropa untuk keadaan yang lebih baik. Walaupun jumlah negara anggota Uni Eropa belum meliputi seluruh wilayahnya, namun mereka sudah mewakili setiap wilayah pembagian barat, tengah, timur juga terdiri dari negara-negara maju, menengah hingga yang kurang maju.

Yang unik dari Uni Eropa adalah dimana mereka mau dan bersedia untuk bersama-sama berintegrasi untuk kepentingan bersama, bangsa Eropa. Dalam sejarahnya, Eropa memiliki variasi memori, ada yang pernah menjadi negara terkuat hingga terlemah, ada yang pernah menjadi negara penjajah dan terjajah (bahkan hingga kini masih dependant). Tapi, bermula dari kesamaan tujuan perdamaian dan ekonomi, mereka berintegrasi untuk melebur menjadi satu aktor dalam Uni Eropa. Meskipun tiap negara anggota memiliki kedaulatan atas negaranya masing-masing, namun mereka tetap mau menyerahkan atau menurunkan kedaulatan di bawah satu payung hukum Uni Eropa agar tercapai tujuan-tujuannya.

Sementara itu di Indonesia, negara ini pun memiliki latar belakang kebudayaan, agama, karakter manusia yang berbeda-beda. Ada juga latar belakang sejarah yang membedakan suku bangsa satu dan suku yang lain. Namun, kita memiliki satu identitas yang sama, yaitu bangsa Indonesia. Dan itu sayangnya tidak tertanam penuh dalam tiap individu hingga keadaan negara saat ini bisa dibilang carut-marut. Indonesia merupakan negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, memiliki tiga zona waktu, dengan wilayah perairan yang 2 kali lebih besar dari wilayah darat. Hal itu membuktikan betapa besarnya negara tercinta ini. Indonesia juga memiliki kekayaan alam yang sebenarnya itu merupakan aset berharga bangsa ini. Namun, jika tidak didukung oleh manusia-manusia yang mampu, sadar dan mau berintegrasi untuk kepentingan bersama, maka yang ada hanyalah keadaan dimana setiap individu yang hanya memikirkan kepentingan dan kepuasan dia dan kelompoknya sendiri :(

Memang, di Eropa, proses integrasi masih belum menyebar rata di setiap kalangan masyarakat. Namun, mereka menunjukkan kemauan dan usaha untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Bahkan mereka rela menurunkan sebagian kedaulatan negaranya masing-masing. Sebaliknya di Indonesia, dengan sistem otonomi daerah yang sudah berlaku sesuai UU no 32 tahun 2004, maka setiap daerah di Indonesia memiliki hak untuk membangun. Mari kita ibaratkan daerah-daerah itu adalah negara-negara di Uni Eropa yang memiliki kedaulatan. Jika setiap daerah memiliki pemerintahan yang sama-sama bertujuan untuk menyejahterakan Indonesia didukung oleh masyarakat yang terintegrasi, maka tujuan pembukaan UUD'45 Negara Kesatuan Republik Indonesia di alinea 4 akan terwujud.

Yang saya kagumi dalam Uni Eropa adalah ketaatan hukum yang tinggi dalam implementasinya di kehidupan sehari-hari. Dengan masuknya 27 negara anggota dalam Uni Eropa, maka mereka wajib mematuhi landasan hukum yang berlaku, saat ini Traktat Lisabon. Dan hukum yang menjadi dasar pembentukannya, berisi ribuan detail yang mengatur, baik itu masalah elit politik tinggi, hingga masalah sosial. Bahkan dengan adanya mutual recognition negara-negara Uni Eropa mereka menyamakan standar barang-barang produksinya, standar Eropa.

Di Indonesia sendiri, saya percaya bahwa pemerintah sudah berusaha membuat langkah-langkah yang bertujuan untuk kesejahteraan bangsa. Tapi, itu hanyalah sebuah langkah jika dalam implementasinya tidak didukung oleh integritas para aparat dan masyarakat yang taat hukum yang tidak hanya mementingkan kepentingan golongan. Dan tentunya pemerataan langkah-langkah implementasi itu akan sangat dibutuhkan karena bangsa Indonesia tersebar luas di sekitar 17000an pulau sana. Sebenarnya saya tertarik untuk mempelajari, bagaimana bangsa Eropa memiliki pandangan hidup yang seperti itu. Bagaimana mereka memiliki kedewasaan dalam berdiplomasi, meskipun mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda tiap negaranya...

Ah, right or wrong is my country!! Itu yang harus saya tanamkan di diri saya sendiri. Tapi tidak ada salahnya kita berkaca dan mencontoh langkah-langkah bangsa lain untuk mencapai tujuan bersama.
Meskipun saya ingin bisa keliling dunia, terutama Eropa ~~salah satu latar belakang lain, saya tetap berkeinginan untuk keliling Indonesia, negeri tercinta ini. Masih banyak tempat-tempat indah, saudara-saudara sesama bangsa Indonesia tersebar di seberang lautan sana. Semoga kita semua memiliki rasa cinta yang sama, cinta tanah air Indonesia. Semoga kita bisa mewujudkan bangsa yang adil, makmur dan sejahtera dari Sabang hingga Merauke.


Picture from : the-marketeers.com

European Union: Power or Integration?

Whenever you hear about European Union, for those who have already recognized their existence that it is not a strange one. Whereas, some others may not even know what kind of entity they are.. Thus, I'll explain here..

European Union is the unity of some European states which are undermined by laws. It has a long history so that it now becomes a distinguished international actor. It now has a Treaty of Lisbon, signed 2002, as the primary law as the fundamental one. However, it also has secondary laws, consists of directives, decisions, recommendations as well as the law.

European Union consists of 27 countries which has each own national interests. The balance of power between EU institutions has shifted overtime since its members has developed from six founding countries to 27 countries now. Thus, in decision-making process, they must meet many debates and conflicts among its members that they want to hold their own national interest.

As day goes by, EU is getting more complex as it raised their member. It has some institutions to run, be in charge, create the laws, maintain, solve and manage the programs and matters around. There are three main institutions which have each own task of maintenance, such as European Commission, European Parliament, Council of Ministers. It will be a long explanation about their tasks but let's just see problems below.

Which institution is the most powerful?

European Union consists of several institutions, some are supranational while some others are inter-governmental insitutions. If the phrase “the most powerful” here means the insitution that may force member states to imply the regulations and directives made by the EU, thus the European Commission is the most powerful one. It, called as the “Guardian of the Treaties”, is a supra-national institution consists of a commissioner from each member states. If the member states do not imply the decisions, it can bring them to the Court of Justice to oblige them to comply the law. However, as European Commission is an “excecutive arm” which runs and implements the EU based on the law, it is responsible before the European Parliament.

Which institution could most accurately be described as the motor of integration?

As the motor of integration, the European Union has the European Parliament as representatives from EU’s citizens, consisting of various kind of organitation areas from different political views of member states. It takes part in the legeslative process by having co-decision procedure along with the Council of EU. Nowadays, EP has This reflects and encourages the bottom-up integration that it do not only come from the government but also the citizens.

Is the relationship between the institutions characterized by cooperation or conflict? Is it a change or continuity?

The relationship between the institutions characterized by cooperation as it is stated above that they have triangle decision-making process or “Ordinary legislative procedure” to create a law for the member states. Moreover, there are also other institutions function in judicial matters, monetary policies, auditing, economic and social issues, etc. They are all cooperating in order to achieve peace and prosperity for its member states and international relationship based on the Community’s common purposes. This is a positive change as European used to have conflicts among countries which was far way from peace and prosperity for the people.

All in all, pertaining to the title of this post, I could conclude that the power of EU's power is impossible without the integration of each member states.


cheers
- M -

Realism vs Liberalism

Review: “Structural Realism” oleh John Mearsheimer dalam Dunne, Kirki, and Smith, International Relations Theory, First Edition, 2007, h.71-88


Latar Belakang Realisme dalam Pandangan Struktural

Dalam bukunya Realism and International Relations, Donnelly menyatakan bahwa realisme menekankan batasan-batasan politik yang dipaksakan oleh watak manusia (human nature) dan ketiadaan pemerintahan internasional. Keduanya mejadikan hubungan internasional hanya sebagai domain tentang kekuatan dan kepentingan (Donnelly, 2000: 7). Hal itu yang disebut sebagai konsep anarki, dimana tidak ada kekuatan atau kekuasaan terpusat yang lebih tinggi untuk mengatur. Berawal dari konsep tersebut, anarki merupakan dasar pandangan realis dari tiap negara, dimana mereka harus mempertahankan dan menolong diri sendiri.

Ada beberapa perbedaan yang signifikan di antara para realis. Perbedaan yang paling mendasar berawal dari pertanyan: mengapa negara menginginkan kekuatan? Seorang realis klasik, Hans Morgenthau (1948a) memberi jawaban bahwa itu adalah karakter manusia. Manusia selalu menginginkan kekuatan lebih untuk mengatasi rasa takut dan mempertahankan diri dari orang lain yang lebih kuat. Demikian pula negara, yang selalu ingin “memangsa” negara lain karena ketakutan akan kekuatan lain yang lebih besar. Latar belakang pandangan realis ini sudah ada sebelum zaman masehi, dimana Thucydides menyatakan pemikirannya dalam buku “The Peloponnesian War” yang menggambarkan bahwa dalam politik antar-negara, “the strong do what they have the power to do and the weak accept what they have to accept”. Negara yang kuat akan menguasai negara-negara yang berkekuatan lemah, sebaliknya negara-negara lemah hanya bisa menerima nasibnya.

Seiring perkembangan zaman, paradigma realisme klasik sedikit berbeda dengan realisme modern, atau yang biasa disebut neo-realism atau realisme struktural. Berawal dari pemikiran seorang realis struktural, Kenneth Waltz (1979) yang menyatakan bahwa negara yang memiliki kekuatan berlebihan akan memperoleh hukuman dari sistem yang berlaku di tingkat internasional. Tindakan yang dilakukan untuk memperluas kekuasaan dianggap terlalu riskan. Penganut realisme struktural menganggap negara sebagai kotak hitam: dimana semua dianggap sama, tersembunyi dari fakta bahwa beberapa negara bisa memiliki kekuatan lebih kuat atu lemah dari negara lain.

Sebagai salah satu penganut realisme struktural dan murid dari Waltz, Mearsheimer (2007) menyatakan ada lima asumsi dasar tentang sistem internasional yang mendorong negara-negara berkompetisi untuk memperoleh kekuatan. Pertama, kekuatan besar merupakan aktor utama dalam dunia politik dan yang mengatur dalam sistem anarki. Kedua, setiap negara berasumsi bahwa negara lain memiliki kapabilitas militer lebih untuk bertahan, atau bahkan menyerang negara lain. Asumsi ketiga adalah setiap negara tidak akan pernah mengetahui secara pasti motivasi yang dimiliki negara lain. Dalam setiap pengambilan kebijakannya, tak ada yang tahu pasti apakah negara itu bersifat revisionist atau status quo. Asumsi keempat bahwa tujuan utama setiap negara adalah untuk bertahan. Dan asumsi terakhir pada paradigma struktural realisme adalah bahwa negara adalah aktor rasional, yang dapat memikirkan strategi untuk meningkatkan setiap kemungkinan untuk bertahan. Setiap negara mengutamakan kepentingannya diatas kepentingan negara lain dalam komunitas internasional.

Dalam paradigma realisme struktural, terdapat dua jenis pandangan yang berbeda; defensive realists dan offensive realists. Keduanya berpendapat bahwa senjata nuklir, yang akhir-akhir ini diperdebatkan, bisa menimbulkan perang kemungkinan karena perkembangan tingkat nuklir yang dinilai mengancam. Namun, keduanya juga memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan pandangan ini didasarkan oleh pertanyaan: berapa besarnya kontrol kekuatan yang dianggap cukup?

Defensive realis menyatakan bahwa sistem internasional yang mendorong sebuah negara meningkatkan kekuatannya. Paradigma ini yang mendorong adanya security dilemma, dimana negara yang memiliki kekuatan lebih justru akan merasa terancam dengan kebijakan negara lain yang ingin mengimbangi, hingga akhirnya terus meningkatkan kekuatannya. Mearsheimer menyontohkan keadaan ini pada zaman Napoleonic France (1792-1815), Imperial Germany (1900-18) dan Nazi Germany (1933-45). Karena itu, defensive realis berpendapat bahwa tiap negara harus membatasi hasrat mereka untuk terus mengumpulkan kekuatan lebih. Sementara itu, para offensive realis berpendapat bahwa negara harus selalu mencari kesempatan untuk meningkatkan kekuatan dan melakukannya di waktu yang tepat.

Dalam pandangan realis struktural, faktor penyebab perang biasanya dilatar belakangi oleh ideologi dan masalah ekonomi. Mearsheimer (2007) dalam artikelnya menuliskan 4 variabel yang dapat memicu perang dalam sistem internasional: sistem polaritas, keseimbangan kekuatan, dinamisasi kekuatan dan perang, dan keseimbangan offence-defence.


Realism vs Liberalism

Dalam bukunya, Viotti dan Kauppi (2010: 73) menyatakan:
“Given the realist view of the international system, the role of the state, and balance of power given, critics suggest that very little possibility is left for the fundamental and peaceful transformation of international politics”

Pandangan realisme yang selalu mementingkan power dan kekuasaan sebagai tujuan pertahanan suatu negara, tidak akan memberi kedamaian dunia. Setiap negara tidak akan merasa puas atas kekuatan yang dimiliki, sehingga akan terus berusaha mendapatkannya dalam politik internasional. Relative power akan terus membuat negara-negara realis untuk berusaha menjadi lebih kuat dari negara lain.

Sebagai oposisi dari teori Realisme, teori Liberalisme dalam hubungan Internasional memberikan konsep dasar yang berbeda. Tidak ada istilah politik internasional bagi para liberalis, karena itu hanya istilah lain dari kepentingan-kepentingan negara yang dibawa ke ranah internasional. Liberalis lebih menganggap kepentingan global atau dunia yang harus diutamakan untuk mencapai suatu kesepakatan dan mencapai perdamaian.

Ada empat asumsi utama yang membedakan realis dan liberalis dalam hubungan internasional. Pertama, dalam politik realis aktor utamanya adalah negara, sedangakan dalam hubungan internasional liberalis, negara dan organisasi-organisasi non-pemerintah memiliki peran sebagai aktor utama. Kedua, dalam hubungan internasional liberalis, keputusan atas tindakan yang akhirnya diambil negara merupakan cerminan dari kepentingan rakyat melalui ormas-ormas yang ada, diambil setelah melalui proses koalisi, tawar-menawar dan berkompromi. Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk interdependensi dan interkoneksi antar negara dan organisasi-organisasi masyarakat, berada dalam koalisi dan hubungan yang overlap. Asumsi terakhir, dalam liberalisme, masalah yang diangkat bukan hanya merupakan masalah high politics. Isu-isu sosial dan ekonomi bisa menjadi isu yang lebih kompleks.

Berbeda dengan konsep realis struktural yang mengadopsi heirarki “top-down” dalam segala tindakan negara, liberalis mengadopsi pandangan “inside-out” dimana faktor-faktor hubungan di masyarakat dan negara, hingga tingkat individu dapat mempengaruhi hubungan internasionalnya.

Selain itu, perbedaan paradigma realisme dan liberalisme juga tampak pada perspektif game theory yang dipakai. Realisme mengaplikasikan game theory of zero-sum, yaitu negara akan berusaha meningkatkan kekuatannya, dan membiarkan negara lain kehilangan kekuatannya. Besar atau kecilnya proporsi perbedaan peningkatan dan penurunan kekuatan diantara negara tidak jadi soal, karena semakin besar kekuatan yang didapat suatu negara akan semakin menunjukkan ketahanannya dibanding negara lemah yang kehilangan kekuatan. Sementara itu, paradigma liberalisme menggunakan game theory of positive-sum. Semua negara yang terlibat dalam kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama sama-sama diuntungkan (all can win).

Sama seperti apa yang dilakukan Kenneth Waltz untuk menyempurnakan paradigma realisme menjadi realisme struktural atau neorealisme, Robert Keohane juga menyempurnakan paradigma liberalisme menjadi neoliberalisme. Berawal dari teori interdependensi yang berkembang setelah Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, Keohane ingin mengembangkan neoliberalisme sebagai kerjasama internasional, yang memiliki tiga bentuk dasar: (1) organisasi pemerintah atau non-pemerintah antar negara, (2) rezim internasional, dan (3) konvensi. Kerjasama itu berdasarkan peraturan-peraturan tetap yang saling berhubungan yang mendasari dan membatasi kegiatan negara dan membangun harapan bersama.


Kesimpulan

Berawal dari rasa takut, human nature di setiap individu, paradigma realis muncul dan percaya bahwa kekuatan merupakan takaran kesiapan negara dalam politik hubungan internasional. Namun, struktural realis, seperti yang dipaparkan oleh Mearsheimer, memiliki pandangan yang berbeda dari realis klasik, karena mereka memandang kekuatan sebagai alat untuk bertahan dari sistem internasional yang terus menekan.

Sejak berakhirnya Perang Dingin tahun 1989, para ahli menganggap paradigma realisme telah mati. Faktanya, di era globalisasi ini negara tetap menganut realisme, dan karena tekanan dan perkembangan dunia, hasrat untuk terus mengumpulkan kekuatan masih dapat kita lihat di beberapa penjuru dunia.

BIBLIOGRAFI

Beavis, M. http://www.irtheory.com/know.htm accessed on February 25, 2012

Donnelly, Jack. 2000. Realism and International Relations. University Press: Cambrige-UK

Mearsheimer, John, 2010. Structural Realism Theory, in Dunne, Kurki and Smith. International Relations Theory. Second Edition. pp 77-94

Moravscik, Andrew. Liberalism and International Relations Theory. Centre of European Studies - Harvard University. Paper no 92-6

Viotti & Kauppi, International Relations Theory, Realism: The State and Balance of Power, Fourth Edition, 2010, h. 42-77

Viotti & Kauppi, International Relations Theory, Liberalism: Interdependence and Global Governance, Fourth Edition, 2010, h. 118-149


Tulisan ini merupakan tugas pada Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan ke dosen terkait pada tanggal 27 Februari 2012, Dra. Evi Fitriani, MA, MIA, PhD

Eropanisasi

PENDAHULUAN

Isu-isu mengenai Uni Eropa yang akan berkembang hingga Political Union, menjadi negara federasi mulai banyak diperdebatkan oleh masyarakat Eropa. Tak hanya internal masyarakat Eropa, namun dunia juga akan menyoroti bagaimana negara-negara Eropa dengan berbagai latar belakang historis berbeda dapat bersatu dalam kekuasaan yang berpusat pada satu institusi yang mengatur berbagai aspek dari ekonomi, kebijakan fiskal dan monetary, hingga satu kebijakan politik dan pajak pendapatan. Banyak pihak yang meragukan keberhasilannya, namun usaha-usaha untuk menyatukan negara-negara di benua Eropa masih terus dilanjutkan.

Dalam salah satu artikelnya Olsen (2003) mempertanyakan, Europeanization: A fashionable term, but is it useful? Bagi masyarakat awam, istilah Europeanisasi masih belum banyak dikenal. Banyak pendapat yang berbeda mengenai definisi Europeanisasi. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Europeanisasi merupakan cara untuk mengimplementasi dan mempelajari hukum-hukum serta kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Uni Eropa ke wilayah domestik negara (Ladrech (1994), Dyson dan Goetz (2002), Olsen (2002)). Risse et al (2001) mengidentifikasi Europeanisasi sebagai proses downloading dan up-loading kebijakan-kebijakan dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam institusi-institusi sosial atau yang berhubungan dengan politik dan hukum dalam interaksi para aktor dalam pembentukan peraturan yang berlaku di Eropa. Olsen (2002) memberikan lima poin kunci proses Europeanisasi.

Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan proses Europeanisasi menurut pendapat Johan P. Olsen dalam pembahasannya berjudul Europeanization (2002), yang terdiri dari lima proses kunci. Kemudian penulis akan menganalisis berdasarkan cara menerima proses Europeanisasi, yang dibedakan dalam proses top-bottom dan bottom-up. Selain itu, penulis juga mengaitkan hubungan keberhasilan Eropanisasi dengan integrasi Eropa.


PROSES-PROSES EROPANISASI

Dalam mengidentifikasi pengertian Eropanisasi, Olsen (2002) memberi lima kategori proses yang digunakan untuk mencapai tujuan Eropanisasi. Yaitu:

1. Proses ekspansi batasan wilayah teritorial terluar.

Proses Eropanisasi ini dilakukan dengan memperluas wilayah Uni Eropa, dengan cara menambah anggota, baik itu secara persuasif atau selektif terhadap negara-negara calon anggota. Tentu saja dalam proses masuknya, calon-calon negara anggota harus mau memenuhi peraturan dan persyaratan yang sudah disepakati oleh Uni Eropa.

2. Proses pengembangan institusi-institusi hingga taraf Eropa

Beberapa ahli berpendapat bahwa proses Eropanisasi merupakan pengembangan beragam stuktur-struktur pembangunan yang bertaraf Eropa, mencakup hukum politik, dan institusi sosial yang berhubungan dengan pemecahan masalah dan interaksi formal antar aktor, dan rangkaian kebijakan dalam pembuatan aturan-aturan di Eropa (Risse, Cowles, dan Caporaso, 2001:3).

Dalam pengembangan institusi-institusi ini dilatar belakangi oleh beberapa hal:
a. a purposeful choice mode
b. a problem-solving mode
c. a conflict resolution mode

Namun, perbandingan perbedaan dinamika antara institusi dan sektor-sektor kebijakannya perlu diperhatikan, ketika pengembangannya mencakup perubahan dalam bertindak berkaitan dengan masalah identitas, makna-makna kode, dan kriteria normatif menggambarkan kemampuan institusi tersebut. Perubahan dan pengembangan itu dilakukan melalui proses pendidikan dan sosialisasi.

3. Penyebaran institusi-institusi Eropa

Dahulu, masyarakat Eropa berusaha mengekspansi kekuasaan dan wilayah ke negara-negara yang berprospek melalui kolonisasi (colonisation), pemaksaan (coercive), dan imposisi (imposition). Sekarang, proses Eropanisasi dilakukan juga dengan cara menyebarkan institusi-institusi Eropa keluar, dilakukan melalui hubungan internasional negara-negara Uni Eropa yang terlibat dalam organisasi-organisasi dunia, seperti NATO, PBB dan WTO. Penyebaran kerangka institusi-institusi Eropa kali ini lebih ditekankan pada proses difusi yang mencakup perbedaan-perbedaan, ketertarikan dan legitimasi contoh-contoh institusi tersebut.

4. Penyatuan Politik Eropa

Proses Eropanisasi ini bertujuan untuk mengubah Eropa sebagai suatu bentuk entitas politik yang kuat dan koheren. Namun, ada beberapa pendapat yang menjadi indikator pemikiran Eropanisasi sebagai penyatuan politik.

a. Penyatuan batasan politik, kekuasaan dan tanggungjawab negara-negara Eropa dinilai sebagai langkah yang rentan untuk dilakukan.
b. Dengan adanya penyatuan politik, ada dua kemungkinan dimana proses tersebut dapat berdampak positif hingga Eropa menjadi lebih kuat, atau sebaliknya menimbulkan banyak protes dari masyarakat.
c. Tanpa adanya respect dari otoritas lokal dan kelompok-kelompok minoritas, akan menimbulkan konflik

Konsep penyatuan politik Eropa ini dipelajari bahwa perubahan merupakan proses adaptasi mutual dan co-evolving institutions. Namun, Proses ini dinilai akan menimbulkan banyak pertentangan karena dinamika masyarakat Eropa yang beragam dan berubah-ubah.

5. Perubahan terhadap institusi-institusi politik dan pemerintahan domestik

Konsep Eropanisasi yang terakhir adalah perubahan pada institusi-institusi politik dan pemerintahan domestik dan lokal. Proses ini dilakukan melalui 2 (dua) cara:

a. Experential learning: merupakan proses adaptasi perubahan melalui pengalaman-pengalaman dan intepretasi dalam merespon bentuk-bentuk lain dari organisasi dan pemerintahan domestik
b. Competitive selection: proses ini memerlukan pemahaman tentang mekanisme variasi, seleksi dan ketahanan. Perkembangan dan pertahanan institusi dan aktor-aktor yang ditunjuk dinilai berdasarkan performa, perbandingan keuntungan, dan cara penyesuaian mereka terhadap lingkungan. Hanya institusi yang efisien yang dapat dipertahankan.

Dari kelima proses Eropanisasi yang ditawarkan oleh Johan P.Olsen, tidak ada asumsi yang mudah mengenai perubahan institusi-institusi dan para aktor, yang dapat mencakup keseluruhan kompleksitas dari transformasi Eropa. Cara-cara Eropanisasi tersebut ditawarkan, namun buka berarti kita harus memilih salah satu melainkan harus saling berintegrasi satu sama lain.


Hubungan Eropanisasi dan Integrasi Eropa

Dilihat dari cara-cara di atas, menurut Olsen proses Eropanisasi lebih cenderung digambarkan sebagai proses penyebaran sistem dan paradigma politik, sosial, ekonomi Uni Eropa terhadap negara-negara anggota maupun di luar anggota. Olsen juga berpendapat bahwa untuk selanjutnya pandangan integrasi pada dinamika institusi lebih ditekankan. Hix dan Goetz menggambarkan hubungan antara Integrasi Eropa dan Eropanisasi sebagai berikut: For them, European Integration can be seen “as source of change” and Europeanisation “as an effect” of this (Hix and Goetz, 2001: 22).

Borzel menyatakan bahwa Eropanisasi adalah sebuah proses dua arah, yaitu mencakup dimensi top-down dan bottom-up (Borzel, 2002: 193). Sebagian besar analisis menyatakan, Eropanisasi top-down terjadi sebelum tahun 1990an, yang berisi tentang ide-ide seputar cara-cara implementasi kebijakan-kebijakan Eropa (Radaelli, 2004:4). Sementara itu, nenurut Radaelli, pendekatan bottom-up berisi tentang sistem interaksi pada tingkat domestik, dan bagaimana Uni Eropa mendorong perubahan komponen-komponen domestik seiring berjalannya waktu. Selain itu, ukuran perubahan-perubahan dan dampak yang terjadi pada level domestik juga dilihat melalui proses bottom-up (Radaelli, 2004:4).

Dari lima definisi proses Eropanisasi yang disebutkan Olsen, empat hal pertama merupakan proses top-down untuk menyebarkan sistem dan paradigma Uni Eropa. Bahkan Eropanisasi dilakukan dengan memperluas wilayah keanggotaan, sehingga setiap anggota harus mengikuti hukum dan kebijakan-kebijakan yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan proses integrasi bottom-up hanya terlihat dari definisi terakhir dimana Olsen mendorong terjadinya perubahan dimulai dari institusi-institusi domestik nasional.

Tentu saja dalam prosesnya, baik Eropanisasi maupun Integrasi Eropa, banyak konfilk-konflik yang terjadi antar negara anggota, terutama dalam mengadopsi dan mengimplementasikan regulasi atau directives yang menjadi kebijakan Uni Eropa ke setiap negara. Untuk menyamakan standar Eropanisasi, tidak semua negara anggota sudah siap dan mampu dalam pembiayaannya. Selain itu, dampak lain yang ditimbulkan dari proses Eropanisasi dan integrasi Eropa yang memiliki standar tersendiri, adalah dengan hilangnya nilai-nilai budaya dan sosial yang ada di tingkat domestik negara-negaranya. Hal ini tentu menjadi perdebatan bagi masyarakat Eropa. Sependapat dengan Hitz dan Goetz (2001), Gualini (2003) menyatakan bahwa:
“Europeanisation is not the explanans (i.e., the ‘solution’, to paraphrase the title of this article; or the phenomenon that explains the dependent variables), but the explanandum (i.e., the ‘problem’ that needs to be explained”.

Jadi, proses Eropanisasi tidak akan terwujud tanpa adanya integrasi yang kuat dari masyarakat negara anggota, pada khususnya. Tujuan Uni Eropa untuk solidaritas dan kemakmuran bersama antar masyarakat Eropa, merupakan tujuan mulia. Namun, dengan adanya masalah-masalah yang muncul pada salah satu anggotanya, bisa berdampak buruk pada anggota yang lain. Karena itu, integrasi antar anggota juga diperlukan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, sampai kapan dan dimanakah integrasi yang mendorong Eropanisasi akan berlangsung?

Referensi

Borzel, Tanja A. 2002. ‘Pace-setting, Foot-dragging and Fence-setting: Member State Responses to Europeanisation’ in JCMS Volume 40 Number 2. Pp.193-214

Gualini, E. (2003) Multi-level Governance and Institutional Change. The Europeanization of
Regional Policy in Italy, Aldershot, Ashgate.

Hix, S. and Goetz, K. H. 2001 'Introduction: European Integration and National Political Systems', in K. H. Goetz and S. Hix (eds) Europeanised Politics? European Integration and National Political Systems, London: Frank Cass Publishers.

Howell, Kerry. 2002. ‘Developing Conceptualizations of Europeanization and European
Integration: Mixing Methodologies’ at ESRC Seminar Series / UACES Study Group on the Europeanization of BritishPolitics on November 29, 2002

Olsen, Johan P. 2003. ‘Europeanization’ in Michelle Cini (eds) European Union Politics, New York: Oxford University Press Inc.

Radaelli, Claudio M. 2004. ‘Europeanisation: Solution or problem?’ in European Integration online Papers (EIoP) Vol. 8 accessed on http://eiop.or.at/eiop/texte/2004-016a.htm

Risse, Thomas, James Caporaso, and Maria Green Cowles (2001) ‘Europeanization and Domestic Change. Introduction’, in M. Cowles, J. Caporaso and T. Risse (Eds.) Transforming Europe:Europeanization and Domestic Change, Ithaca NY: Cornell University Press, 1-20.


Tulisan ini merupakan tugas pada Mata Kuliah Uni Eropa Program Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia yang telah dikumpulkan ke dosen terkait pada tanggal 29 Maret 2012. Dosen: Dr. C.P.F. Luhulima