Sunday, October 14, 2012

Selamanya Cinta

I am always melted listening to this song...

Dikala hati resah
Seribu ragu datang memaksaku
Rindu semakin menyerang
Kalaulah ku dapat membaca pikiranmu
Dengan sayap pengharapanku ingin terbang jauh

Biar awanpun gelisah
Daun daun jatuh berguguran
Namun cintamu kasih terbit laksana bintang
Yang bersinar cerah menerangi jiwaku

Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku
Selamanya selamanya...
[ Lyrics from: http://www.lyricsmode.com/lyrics/d/dcinnamons/selamanya_cinta.html ]
Biar awanpun gelisah
Daun daun jatuh berguguran
Namun cintamu kasih terbit laksana bintang
Yang bersinar cerah menerangi jiwaku

Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku
Rasa cinta yang tulus dari dasar lubuk hatiku Oh...

Tuhan jalinkanlah cinta
Bersama selamanya...

Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku
Selamanya selamanya...


More lyrics: http://www.lyricsmode.com/lyrics/d/dcinnamons/#share

You might want to listen to the song as well..

Selamanya Cinta - D'Cinnamons

8395 days of life

Unlike friend, boyfriend, or girlfriend, family has no end!
They will protect you whenever, however, and in whatsoever situation..
They will create an atmosphere with love and warmth..
They will find and pull you up whenever you feel down and worthless..
They will ask you many things, but later give you a bright side,
that you will eventually find a silver lining in every cloud..

Family,,
will keep me on the tracks, that I am not struggling for my self, but
I have my precious ones, my brotherhood, my nation and nationality
to see and enjoy my victory in the end..
It is not about a bid or a race but a game of life..
It is not about how to treat our own selves as the only one who should enjoy the living..

That they will support..
That they will rely on their part of future..
That they would like to see us secured..

I love you all, my precious ones..
Regards,

~~the birthday girl~~





Friday, October 12, 2012

AEC: Governments Integrations or Community Integration




The target agenda of ASEAN Economy Community (AEC) 2015 is getting closer to be accomplished. AEC envisions some key characteristics: (1) a single market and productions base, (2) a highly competitive economic region, (3) a region of equitable economic development, and (4) a region fully integrated into the global economy. These have been adopted since 2007, at the 13th ASEAN Summit in Singapore.

All leaders of ASEAN member countries is committed to build the regional integration in order to face the more challenging global economy competition. As a matter of fact that the United States and some Eurozone members are now facing the economy crisis due to their economy control failure, AEC may be a substantial option to empower its regional potential power. In accordance with European Union, a strong regional integration we have known, the AEC areas of cooperation include human resources development and capacity building; recognition of professional qualifications; closer consultation on macroeconomic and financial policies; trade financing measures; enhanced infrastructure and communications connectivity; development of electronic transactions through e-ASEAN; integrating industries across the region to promote regional sourcing; and enhancing private sector involvement for the building of the AEC. In short, AEC will also recognise the free movement of goods, services, investment, skilled labour, and free flow of capital.

With those target agenda, AEC, however, should not only become a commitment among the leader of each member country. In the future, it is the citizens of each country who will run and also get the impacts of AEC goals.  As the target completion is getting closer, social promotion of this project is ultimately needed. Not only the governments but every citizen; the rich or the poor, the elder or youths, men or women must get the advantage of this great vision.

Tuesday, October 2, 2012

Perkembangan Islam Modern di Prancis



Permulaan Islam mulai masuk di Prancis pada akhir abad ke-19. Sedangkan Islam mulai diakui sebagai sebuah agama oleh masyarakat Prancis pada tahun 1905. Beberapa umat Islam dan masyarakat Prancis memiliki pandangan yang sama tentang perilaku anti-Semitism.

Jumlah Muslim di Perancis lebih kurang mencapai 4-6 juta jiwa, yaitu setara dengan 5-10%[1] dari total populasinya. Jumlah ini merupakan prediksi karena Muslim di Perancis semakin bertambah, seiring dengan banyaknya imigran dari negara-negara penuh konflik di sekitar Eropa dan Timur Tengah. Jumlah Muslim di Perancis merupakan jumlah terbanyak di Eropa, disusul Jerman, Inggris, Italia, Spanyol dan Belanda[2]. Seiring dengan bertambahnya jumlah Muslim, kini jumlah masjid dan mushola di Perancis diperkirakan mencapai sekitar 1600 buah. Tentu saja masjid dan mushola tersebut tidak semuanya berbentuk bangunan megah, namun ada yang hanya berupa gedung bekas bangunan yang sudah tidak digunakan. Akan tetapi, pada tahun 1922, telah didirikan masjid Raya Yusuf di Paris.

·         Islam Pratiquant
Perkembangan Islam di Perancis lebih banyak di dominasi oleh para imigran yang datang dari negara-negara bekas jajahannya, seperti Aljazair, Libya, Maroko, Tunisia dll. Prancis yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, merasa sedikit khawatir dengan perkembangan Islam yang begitu pesat sejak beberapa dekade terakhir. Hampir sebagian besar penduduk muslim di Perancis merupakan Islam pratiquant, orang-orang yang rajin beribadah sesuai dengan ajaran. Sedangkan, para umat Kristiani, baik Katolik maupun Protestan, bukan merupakan para pratiquant, hanya sedikiit dari pemeluknya, karena muncul pandangan bahwa hal tersebut bersifat kuno. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya gereja yang ditutup, bahkan dijadikan masjid karena kehilangan jamaahnya.
Ada pendapat bahwa kegiatan beribadah itu dianggap tidak bisa berasilimilasi dengan lingkungan sekitar. Jadwal sholat umat muslim dianggap mengganggu terutama dalam pendidikan atau bekerja. Banyaknya jumlah jamaah yang sholat di masjid, bahkan sampai ke jalanan, dianggap sebagai pengganggu pengguna jalan dan tidak toleransi. Padahal seharusnya, negara yang menjunjung tinggi demokrasi itulah yang bertoleransi terhadap pemeluk agama lain yang sedang beribadah.
Pergeseran dalam aplikasi nilai-nilai Islam di Perancis juga ditunjukkan dalam penyebaran ajarannya. Sebagian penduduk yang beragama non-Islam berpendapat bahwa ajaran Islam terlalu mengekang dan seharusnya ajaran-ajaran itu disesuaikan dengan budaya dan gaya hidup di Perancis[3]. Terdapat dua kutub muslim di Perancis, para imigran muslim dan generasi kedua. Penyebaran Islam diantara para imigran dianggap sebagai usaha pembentukan diaspora muslim karena ajarannya yang terlalu berambisi mengikuti ajaran di Arab dan sekitarnya. Sedangkan generasi kedua merupakan umat muslim yang diajarkan agama Islam sejak lahir. Namun, karena adanya tarik-menarik ajaran Islam mereka perlu untuk mencari sendiri jati dirinya dalam ajaran Islam. Selain itu, dalam penyebaran ajarannya, muslim di Prancis juga bermasalah dengan bahasa. Tentu saja kemampuan mereka untuk menguasai bahasa Prancis dan Arab tidak sama. Hal itu mendorong para ulama di sana untuk menyebarkan ajarannya dalam 2 bahasa. Bahkan dalam pembacaan doa pun dilakukan dengan dua bahasa[4].
Pada tahun 1985, didirikan Federasi Muslim Perancis, yang telah mempersatukan 540 organisasi Islam, menjembatani umat muslim dengan pemerintah, dan memberi pengetahuan dan pendidikan Islam kepada warga yang ingin belajar. Pada awal pembentukannya, Nicholas Sarkozy yang saat itu menjadi menteri dalam negeri menyatakan dukungannya. Namun organisasi tersebut dianggap tidak mampu mewakili suara umatnya. Saat ini muslim di Perancis juga memiliki Union des Organisations Islamiques de France (UOIF) yang dinilai lebih mampu menyuarakan aspirasi umat. Organisasi tersebut sering melakukan diskusi tentang masalah-masalah Islam dengan mendatangkan beberapa ulama besar.

·         Sekolah-sekolah Islam di Prancis
Di tahun 2004, pemerintah Perancis menetapkan larangan untuk memakai jilbab kepada para siswi muslimah. Tentu saja kebijakan itu mendapat banyak respon negatif bukan hanya dari umat muslim, namun juga masyarakat internasional serta para aktivis HAM di dunia. Semenjak revolusi tahun 1989, Perancis dikenal dengan sistem laicite, yang membebaskan aturan agama dari campur tangan pemerintah atau gereja. Selain itu, Prancis juga merupakan negara sekuler yang membedakan urusan pemerintahan dari agama. Karena itu, aturan larangan pemakaian jilbab atau atribut yang merepresentasikan agama ditentang oleh berbagai kalangan masyarakat.
Sebagai imbasnya, masyarakat muslim Perancis ingin mendirikan sekolah swasta dengan aturannya sendiri. Sampai kini sedikitnya ada empat sekolah muslim swasta, yaitu di daerah Vitrerie, pinggiran selatan Perancis, Education et Savoir di Paris, Reussite di Aubervilliers, utara Paris,  Ibn Rushd di Lille, dan Al-Kindi di kota Lyon. Kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum nasional, dengan penambahan pelajaran tentang fiqih Islam sebagai muatan lokal.
Pada awalnya, pembukaan sekolah tersebut mengalami kendala, karena sulit mendapatkan ijin. Sekolah Al-Kindi misalnya, terkendala dalam ijin pengoperasian karena dianggap tidak memenuhi standar kebersihan dan keselamatan. Namun, Pengadilan Administratif di Lyon membatalkan penutupan sekolah itu. Menurut para pemimpin Perancis, insiden Al-kindi justru akan mendorong masyarakat muslim untuk membuka sekolah serupa.

·         Perkembangan Islam dalam Dunia Politik
Masalah agama, merupakan masalah yang sensitif untuk dibahas. Namun, permasalah agama juga bisa mempengaruhi perkembangan politik suatu negara. Begitu juga di Perancis.
Masalah yang akhir-akhir ini muncul di Perancis adalah membludaknya imigran, yang sebagian besar muslim, hingga menyebabkan Islam di negara ini berkembang sangat pesat. Sejak peristiwa kelam 11 September 2001, Islam mendapat cap baru yaitu, agama teroris. Dengan berbagai alasan dan dalih, Amerika Serikat menjadi pelopor dan penggerak agar dunia mengutuk dan menjauhi  Islam. Ajaran Islam mulai jilbab, poligami, jihad hingga masalah penampilan seperti jenggot, dll. menjadi obyek serangan. Sehingga, timbullah  apa yang disebut Islamophobia.
Sebagai imbasnya, pada tahun 2001, sejumlah masjid dan rumah imam-imam masjid menjadi sasaran bom molotov. Peraturan pelarangan penggunaan jilbab yang menjadi penanda jelas seorang muslim pun merupakan salah satu bentuk Islamophobia. Selain itu, beberapa kasus kriminal yang terjadi di Perancis dilakukan oleh penduduk imigran. Karenanya, beberapa pemimpin Perancis yang ekstrim, menentang dengan lantang masuknya imigran, karena hal tersebut dapat menghilangkan keturunan asli warga Perancis. Marie Le Pen dan Nicholas Sarkozy menggunakan kampanye anti imigran untuk mendapatkan perhatian rakyat Perancis pada pemilihan presiden beberapa waktu lalu.
Permasalahan imigran bisa berpengaruh terhadap pandangan politik rakyat Perancis ke depannya. Apabila semakin banyak umat muslim yang memilih, maka kesempatan untuk duduk di kursi pemerintahan bagi umat muslim juga semakin tinggi. Tentu saja hal tersebut bisa berpengaruh terhadap peraturan-peraturan yang berlaku di Perancis.
Baru-baru ini, skandal Muhammad Merah[5], warga Toulouse, Muslim imigran Aljazair, telah resmi ditetapkan pemerintah sebagai penanggung jawab skandal terbunuhnya 3 warga sipil di kota tersebut dan meledaknya bom di sekolah Yahudi yang memakan korban 3 orang anak dan 1 orang dewasa. Semuanya Yahudi. Sementara 2 diantara warga sipil yang ditembak adalah Muslim imigran Magreban. Tariq Ramadan, seorang ulama ternama dari Swiss mengatakan bahwa pelaku hanya sebagai korban konspirasi elit politik Perancis. Pelaku penembakan itu, tidak bisa dianggap sebagai generalisasi warga muslim di Perancis karena perilakunya sama sekali tidak mencerminkan ajaran-ajaran muslim. 

Islam di Perancis kini telah berkembang dengan pesat. Pengenalan ajaran Islam yang cinta damai, bermoral tinggi dan bersifat melindungi wanita menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Perancis. Diperkirakan setiap tahun, ada sekitar 30.000-70.000 penduduk Perancis masuk Islam. Dengan jumlah umat muslim yang semakin bertambah, maka fasilitas-fasilitas yang sesuai dengan ajaran Islam semakin mudah ditemukan. Masjid, sekolah, penjual daging halal sudah bisa banyak ditemui di wilayah Perancis. Namun, pandangan-pandangan tentang Islam datang dari luar menimbulkan pandangan skeptis atas masyarakat muslim di Perancis hingga menimbulkan Islamophobia. Padahal hal tersebut tidak bisa digunakan sebagai acuan generalisasi perwujudan dari perilaku muslim sesungguhnya.



[3] Bowen, John. R. Islam in/of France: Dilemma of Translocality. A paper read at The 13th International Conference of Europeanists, Chicago, March 14-16, 2002.
[4] Ibid.

Sejarah Masuknya Islam di Prancis



Prancis sudah mengenal Islam sejak abad ke-8 M. Sejarah menyebutkan Islam pertama kali masuk ke wilayah Prancis dimulai pada waktu terjadi penyebaran ajaran Islam oleh para khalifah ke Eropa yang dimulai dengan penaklukan wilayah Spanyol pada tahun 711 M.
Pada tahun 721 M, Abd-ur-Rahman, seorang bangsa Barbar, diangkat menjadi Gubernur di Spanyol. Untuk menyebarkan ajaran Islam, beliau beserta para prajurit dan pasukan berkuda melewati Pegunungan Pyrenees untuk berekspansi ke wilayah Prancis yang pada masa itu diduduki oleh bangsa Frank. Sepanjang perjalanan mereka berhasil menduduki beberapa wilayah untuk penyebaran ajaran Islam dan terus bergerak menuju Sungai Loire.
Pada tahun 732 M, bangsa Frank melakukan perlawanan terhadap prajurit Abd-ur-Rahman yang telah memasuki wilayah Prancis. Bangsa Frank dipimpin oleh Charles Martel, yang dijuluki “The Hammer” menghadang prajurit Islam di wilayah Poitiers. Perang antara pasukan Abd-ur-Rahman dan Charles Martel dianggap sebagai perang yang sangat menentukan perkembangan agama Islam pada masa itu. Perang tersebut disebut Perang Tours.
Pada tanggal 10 Oktober 732 M, prajurit Islam dihadang oleh pasukan Martel yang telah mempersiapkan mental untuk menghadapi prajurit yang dipimpin oleh Abd-ur-Rahman – seorang bangsa Barbar - yang terkenal dengan kekejamannya. Pasukan Martel telah menunggu selama beberapa hari dengan perlengkapan yang telah dipersiapkan untuk melakukan perlawanan di musim dingin. Sementara itu, prajurit Islam tidak menguasai medan sehingga mereka tidak mempersiapkan perlengkapan perang untuk musim dingin.
Perang yang terjadi di antara wilayah Tours dan Poitiers itu memakan banyak korban. Namun kesiapan mental pasukan Martel berhasil memukul mundur prajurit Islam. Pasukan Martel telah dilatih untuk melawan kekejaman bangsa Barbar hingga terjadi pertumpahan darah yang sengit antara kedua pasukan tersebut. Beberapa sumber menyatakan bahwa prajurit Islam mengalami kekalahan karena mereka terpecah belah hingga akhirnya kekuatan mereka berkurang dan kurang tangguh dalam mengahadapi serangan Charles Martel. Abd-ur-Rahman terbunuh dalam perang tersebut. Prajurit Islam dipaksa mundur dari wilayah Prancis, dan itu menjadi akhir dari ekspansi ajaran Islam di wilayah Eropa Barat.
Atas kemenangannya, Charles Martel dianggap sebagai penyelamat umat Kristen dan Eropa pada masa itu. Perang Tours merupakan perang yang sangat menentukan, karena jika prajurit Islam memenangkan peperangan tersebut, kemungkinan hal itu akan berpengaruh kuat terhadap perkembangan agama di wilayah Eropa. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Islam bisa saja menjadi agama mayoritas di Eropa apabila Abd-ur-Rahman menang.
Pada masa itu, penyebaran agama Islam dilakukan dengan perang untuk menduduki wilayah-wilayah agar penduduknya mau memeluk agama tersebut. Terjadi banyak peperangan di wilayah lain hingga menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam terpecah karena pemimpinnya ingin menjadi penguasa. Umat Kristen sendiri mengalami perpecahan karena beberapa ajaran agama mereka dianggap telah melencenga dari ajaran sesungguhnya. Maka terjadilah perang Salib pada tahun 1095 yang berlangsung hingga 200 tahun. Setelah itu, kekuasaan Islam mulai melemah dan menyisakan wilayah Granada. Namun, pada tahun 1492, Sultan Granada pun akhirnya menyerah sepenuhnya pada raja Ferdinand III dari Aragon dan Isabella.
Tidak seperti ajaran Kristen, ajaran Islam dianggap sebagai ajaran yang terlalu kolot dengan mengatur seluruh aspek kehidupan. Semenjak perang Tours, Prancis terus menyatakan melawan ajaran Islam hingga terjadi pertempuran berdarah dan pendudukan di wilayah Tunisia (1881) dan Maroko (1901). Di sisi lain, perkembangan ajaran Kristen yang mulai terpecah karena perbedaan persepsi juga terjadi di berbagai wilayah Eropa.

Tulisan ini adalah sebagian dari makalah yang dikumpulkan penulis sebagai tugas mata kuliah Religi di Eropa tanggal 25 Mei 2012