Sunday, February 10, 2013

Soegija: Kepemimpinan, Kemanusiaan (tidak hanya) ada dalam Sejarah

Bulan Juni 2012, saya sudah diberi kabar dari dosen saya tentang premier film karya sutradara kenamaan Garin Nugroho, Soegija. Bahkan beliau mengajak mahasiswanya untuk menghadiri undangan premier launching bersamanya. Sayangnya, saya tidak bisa ikut menghadiri karena ada acara lain, dan baru bisa menonton film tersebut hari ini, setelah lebih dari 7 bulan premier launching.


Setelah disuguhi tontonan apik ini, saya merasa puas. Dari segi teknis perfilman mungkin saya tidak terlalu paham. Akan tetapi dari segi konten dan originalitas, Garin Nugroho memang patut diacungi jempol. Akhir-akhir ini industri perfilman Indonesia kembali bangkit dengan menelurkan karya-karya yang sarat makna. Dengan mengambil sudut pandang media lain, yaitu subjek tokoh pahlawan beragama katholik, Soegijapranata, film ini pun menyampaikan makna yang sangat mendalam.

1. Kepemimpinan
Dalam pesan-pesan yang tersampaikan langsung oleh tokoh utama, Sogija, maupun obrolan rakyat yang sedang mengalami masa perjuangan kemerdekaan, film ini jelas mengajarkan pada kita bagaimana pemimpin yang seharusnya. Akhir-akhir ini bangsa Indonesia sedang diuji dengan berbagai persoalan mental kepemimpinan yang melibatkan berbagai tokoh nasional. Karena itu, film ini sangat cocok ditonton sebagai reminder bahwa bangsa Indonesia tidak terbentuk dengan mudah. Bangsa Indonesia berdiri dengan perjuangan tumpah darah para pejuang yang gigih melawan para penjajah. Film ini mengingatkan bahwa para pemimpin itu seharusnya mengayomi, melindungi, dan mendahulukan rakyatnya. Bukannya pemimpin yang memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sendiri.

Bahkan, ada adegan yang sangat menohok, ketika ada seorang pemuda yang buta huruf, melarang seorang anak (ketika sedang belajar bersama) yang membantu para pejuang untuk menggalang dana untuk berperang. Pemuda itu dengan lantang menyerukan bahwa tidak pantas, berperang dengan pembiayaan dari uang rakyat. Walaupun, perjuangan itu juga untuk kebaikan rakyat dan mereka dengan sukarela memberikan. 

2. Kemanusiaan
Jelas sekali film ini menonjolkan pesan kemanusiaan. Manusia akan benar-benar hidup jika mereka saling berbagi, mengasihi, dan menghargai perbedaan. Kasih sayang telah tertanam dalam diri manusia, tidak peduli mereka berasal dari suku, bangsa, ras, agama atau tingkat sosial manapun. Bahkan seorang tokoh dalam film tersebut bernama Robert, komandan pasukan Belanda, yang selalu mengelu-elukan bahwa dia adalah mesin perang yang terhebat, TIDAK AKAN LEPAS dari rasa kemanusiaan. Sifat welas asih yang ditunjukkan oleh Soegija, seorang Uskup Agung, kepada semua umatnya maupun masyarakat sekitar dilakukan tanpa memandang status.
Pesan ini, tidak hanya ditujukan untuk umat Kristiani, melainkan siapa saja yang menonton film ini.

3. Feminisme
Satu lagi yang menarik dari film ini adalah penonjolan tokoh Mariyem yang sangat kuat. Mariyem dengan segala kemampuan yang dimiliki berusaha melindungi, merawat para korban peperangan. Mariyem yang memiliki ketangguhan jati diri sebagai wanita, tidak gentar ketika dia harus menghadapi para pasukan Belanda. Dalam film ini juga ditunjukkan beberapa tentara pejuang wanita, yang notabene pada masa itu, peran wanita selalu dinomorduakan. 
Pada masa itu, hanya sedikit pahlawan wanita yang kita kenal. Walaupun sedikit janggal dengan kenyataan pada masa itu, Garin Nugroho ingin menunjukkan bahwa wanita juga mampu berjuang untuk kemerdekaan, hingga kini tiba saatnya mengisi kemerdekaan yang telah diraih. 

Beberapa adegan dalam film ini menunjukkan tindak kekerasan yang cukup mencolok. Walaupun itu menunjukkan betapa kerasnya perjuangan bangsa Indonesia ketika melawan penjajah yang kejam. Namun, jika Anda menginginkan anak-anak mendapatkan pesan baik dari film ini, dampingilah mereka.

Saya mendengar beberapa rumor bahwa film ini sempat ditarik peredarannya karena dianggap sebagai propaganda Katholik. Mungkin pemilihan ide tokoh pahlawan Nasioanl dari agama Katholik yang menimbulkan pemikiran tersebut. Dari sumber yang terpercaya menyebutkan bahwa film ini sudah memenuhi biaya produksi bahkan sebelum film ini dilaunching. Hal ini disebabkan karena selain memiliki nilai-nilai moral yang bagus, film ini juga melakukan penggalangan dana sebelum dimulai pembuatannya. Film ini memang menghabiskan biaya produksi yang cukup besar hingga 12 M dengan melibatkan pemain dan setting lokasi yang kompleks. Akan tetapi, film yang berlatar belakang pada jaman penjajahan Belanda-Jepang ini diclaim memiliki keuntungan besar. Kemudian sebagian keuntungan disumbangkan untuk beberapa yayasan katholik yang ada di Indonesia.

Jika memang begitu adanya, bisa saja ini merupakan strategi sang produser untuk mendapat keuntungan produksi. Namun, jika kita hanya dibiarkan berpikiran sempit bahwa ini merupakan salah satu propaganda Katholik, tanpa melihat nilai-nilai moral lain, maka kita sebagai penonton harus bisa bersikap bijak dan membuka sedikit cakrawala dengan sudut pandang lain.