Tuesday, February 18, 2014

The hidden precious beauty in West Java


Most Indonesian people do not recognize Mt. Padang as popular as Mt. Tangkuban Perahu, Mt. Merapi, Mt. Papandayan, Mt. Bromo, etc. Those sites are well-known already for being one of tourist’s destinations enjoying the mountainous sceneries. Mt. Padang is not located in Padang, the capital city of West Sumatra. It is located in Karyamukti village, Cianjur regency, West Java. Mt. Padang occupies 3 ha area, was already mentioned as the biggest megalith site in Southeast Asia, compared to Borobudur temple site which is only 1.5 ha.

Megalith was derived from the word “mega” which means big and “lithos” which means stones. It is indeed, a hill covered by many andesites stairs look alike a terrace, which also spread untidily on its surface. Andesite is a kind of stone which was formed by volcanic materials after eruption. Located on 885 m above sea level, from Mt. Padang you can also enjoy the fresh air and scenery of tea plantation around. Not only enjoying an amazing history behind, you will also restore and rejuvenate energy by taking a visit on this site during the weekend.

Tea plantation around, along the road

My friend and I were going to Mt. Padang on Sunday morning by an elf. After having a night stay before, we departed there from Sukabumi. It took for about a half and an hour to reach Karyamukti village, Cianjur. But, we still had to ride up to the site for some other times. The route was quite difficult as there was only a road made of rocks. I would say that most of the trip to Mt. Padang is like an off-roading. Thus, a great driving skill and big-wheel vehicle was truly necessary. Along the road, we were amused by breath-taking panorama of a huge tea plantation. The amusement did not end yet.

Before entering the Mt. Padang, there was an old railway station, called Lampegan station. It used to be inoperative but since 8 February 2014 it is running again and becomes one of stations stopped by KA Siliwangi to serve people going from Cianjur to Sukabumi. We went straight to Mt. Padang and just prayed that there won’t be any other vehicle passing by due to the small road.

After off-roading for about an hour, we finally reached at the gate of Mt. Padang. There was a big car park for the tourists. Afterwards, we had to walk on foot. Before entering the site itself, we had to pay for tourist fees, IDR 2000 – 10000 a person. Before climbing up the stairs, there was spring water, called “Cikahuripan”. In local language, “Ci” means water and “kahuripan” means life. Thus, the local people believe that the water may give long life and is rejuvenating. 

It did not take longer than an hour to reach the top of the mount. According to the local wisdom, Mt. Padang was a sacred worship place and a sanctuary of Prabu Siliwangi. Once you visit the place, you will see the design and the miracle of its formation. The andesites, called menhir, were organized like a terrace and bond by ancient cement made of iron, silica, and clay. The most interesting thing was that the andesites were all pentagonal and there were five levels of terrace. The highest was the most sacred place to arrange a ritual. There was also some stone which sound like “gamelan”, a traditional instrument. People believe that it is used as a musical instrument during the ritual.

Ancient cement, made of silica, iron and clay

Mt. Padang was firstly found in a report of Rapporten van de oudheid-kundigen Dienst (ROD) in 1914, which was later reported by N.J Krom in 1949. However, it was just being officially restored as a heritage site in 1985. The formation of its stones looks like Machu Picchu in Peru. However, not so many people notice at its existence. Recently, some archeologist, geologists and other researcher worked as an independent team of research on ancient catastrophic disaster found out that Mt. Padang was probably built older than Giza Pyramid (2500 BC) in Egypt. After doing excavation and carbon dating on 4 up to 12 m below the surface, they found out that the material inside age 4500-12500 BC. The observation was done in collaboration with Laboratory, BETALAB, of Miami, USA. The scientists were doing some more research and investigation on it. However, it raised some protests from the opponents and local people that they concerned on the damages and distraction later. Having permits to conduct more investigation by the president, it was terminated in the end of 2013.


Human beings are getting smarter inventing more sophisticated tools and technologies. More complex methods will be fruitful for digging up the unrevealed information yet. However, being the first one taking step will always be the hardest part.


Me, on the top of Mt. Padang


Family's trip to Mt. Padang


p.s. thanks to de_Rantau, for organising this great trip!

Monday, February 17, 2014

PENTINGKAH POLITIK REGIONAL?

Membentuk politik regional

Berdiskusi tentang politik tak hanya dapat dilihat dari satu sisi. Politik tak hanya terjadi dalam pemerintahan, organisasi, atau lembaga-lembaga hukum suatu negara, namun juga dapat terjadi dalam lingkup sosial terkecil yaitu keluarga. Berpolitik dinilai sebagai suatu langkah pragmatis yang ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu oleh para aktor yang berperan. Dalam berpolitik aktor-aktor yang berperan dapat berupa individu maupun negara/pemerintahan. Politik dapat terjadi dalam hubungan antar aktor domestik maupun internasional.

Dalam ilmu hubungan internasional, politik regional merupakan salah satu wujud paradigm neo-liberalisme (Viotti and Kauppi 2010, 121). Dalam paradigma liberalis klasik, hubungan tersebut dilihat dari adanya inter-dependency (saling ketergantungan) antar negara dalam bidang ekonomi dan dianggap dapat menghindarkan perang. Seiring berjalannya waktu, beberapa scholar berpendapat bahwa ekonomi hanya sebagian kecil dari sekian banyak aspek kehidupan masyarakat, antara lain sosial, budaya, pendidikan, dll. Karena itu, hubungan antar negara tidak hanya dapat dilihat dari kerjasama ekonomi. Adanya politik regional menunjukkan bahwa kerjasama yang terjadi antar negara-negara tersebut memiliki kepentignan yang sama (mutual interests) setelah ditimbang dengan rasionalitas masing-masing negara dalam lingkup area tertentu.

Beberapa "aliansi" internasional yang bekerjasama dalam tingkat regional antara lain the European Union (EU) sejak tahun 1951, South Asian Association for Regional Cooperation (SEAARC) sejak tahun 1983, Commonwealth of Independent States (CIS) sejak tahun 1991, Visegrad, ASEAN sejak tahun 1967, the African Union sejak tahun 2001 etc. Hampir setiap kerjasama regional selalu berlatar belakang kerjasama ekonomi. Dari beberapa kerjasama politik regional tersebut, Visegrad merupakan salah satu contoh regionalisme dalam regional EU. Visegrad terdiri dari Hungaria, Republik Ceska, Polandia dan Slovakia yg berada di region Eropa Tengah. Berawal dari nostalgia sejarah dan persamaan nasib, keempatnya membentuk Visegrad th 1991 sebagai upaya untuk saling mendorong agar dpt masuk ke EU dan tetap bekerjasama untuk menyatukan pendapat untuk dapat mempengaruhi keputusan dalam EU.

Kerjasama politik regional biasanya banyak dilakukan oleh negara-negara yang bertetangga, dengan latar belakang sejarah yang sama, atau dengan tujuan yang sama. Uni Eropa dapat mempertahankan perdamaian yang terjadi di wilayah mereka dengan adanya politik regional. Dengan makin maraknya globalisasi, maka kekuatan regional diperlukan untuk sebagai benteng dari "serangan global" masyarakat internasional. Namun, jika tiap negara anggota tidak memiliki kesiapan dan ketahanan kuat dalam kerjasama regional tersebut, maka negara anggota lain akan dengan mudah "mencaplok" dan mengatur yang lemah, contoh Yunani dalam Uni Eropa.

Indonesia dalam Percaturan Politik Regional

Negara anggota ASEAN



Indonesia menjadi salah satu bagian dalam politik regional di ASEAN. Beberapa pengamat politik mengatakan bahwa ASEAN sering dianggap sebagai talkshop dimana para pemimpin negara anggota hanya sekedar mengadakan summit tanpa upaya lebih lanjut untuk meningkatkan hubungan kerjasama antar anggota. Akhirnya, pada tahun 2008, dibentuk Piagam ASEAN sebagai landasan kuat untuk membentuk ASEAN Community dengan beberapa pilar kerjasama di bidang ekonomi, politik dan keamanan, dan sosial budaya. ASEAN Community akan ditandai dengan adanya momentum free movement of modal, jasa, investasi, pekerja, dan barang. Dengan adanya kebebasan ini, maka kita dapat dengan mudah jalan-jalan keliling ASEAN, bekerja di negara ASEAN, memiliki peluang pasar yang lebih luas, dll. Jika dilihat dari potensi negara-negara anggota yang sebagian besar memiliki potensi dalam makanan dan produk agrikultur, dengan kemudahan dan diperoleh dari ASEAN Community, maka tingkat kompetisi dalam masyarakat akan semakin ketat. Besarnya gap kualitas antar negara anggota juga menumbuhkan keraguan dalam kerjasama tersebut. Sebagai warga negara Indonesia, saya pribadi menyangsikan kesiapan masyarakat, terutama dengan tingkat intelektual rendah, dalam menghadapi kenyataan bahwa "kran" telah terbuka, sehingga perlu adanya peningkatan kualitas SDM agar mereka tidak tenggelam dalam arus ASEAN Community.

Bukan hanya tentang ekonomi, politik regional ASEAN akan berlanjut pada kerjasama politik dan keamanan, serta sosial budaya. Sejauh ini, pemerintah Indonesia belum benar-benar menunjukkan sosialisasi tentang ASEAN Community ke masyarakat. Sementara negara lain sudah berusaha untuk mengenal budaya negara-negara anggota ASEAN dengan mempelajari bahasanya, bangsa ini masih disibukkan dengan kasus-kasus perebutan harta dan tahta di pemerintahan Bahkan media juga jarang sekali mengangkat topik tentang ASEAN Community. Di sisi lain, peran Indonesia sebagai salah satu inisiator dalam ASEAN Community sangat besar. Selain itu Indonesia juga turut berperan dalam penyelesaian konflik yang masih memanas atas Laut Cina Selatan. Di tengah peliknya situasi dan kondisi dalam negeri, perlukah kita mencari celah dan peluang di kawasan regional? Pentingkah kerjasama regional untuk bangsa Indonesia?

Dalam konflik Laut Cina Selatan (LCS), Indonesia melalui Menteri Luar Negeri memilih jalur diplomasi preventif untuk meredam konflik negara-negara tersebut (Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, Taiwan dan Cina) yang sama-sama mengklaim kepemilikan kepulauan yang ada di sekitar LCS. Posisi Indonesia untuk tetap berada dalam zona netral serta dorongan untuk menyelesaikan konflik dengan damai. Indonesia tidak ingin memanaskan hubungan baik dengan Cina. Di sisi lain Indonesia juga ingin menjaga stabilitas keamanan situasi dan kondisi wilayah ASEAN[1]. Karena itu, Indonesia bersedia menfasilitasi perbincangan damai penyelesaian konflik tersebut. Namun, apakah upaya tersebut berhasil? Atau upaya tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri hingga dibutuhkan balance of power antar negara-negara konflik dengan pembelian persenjataan yang cukup massive oleh negara-negara tersebut.

ASEAN sebagai satu entitas tunggal merupakan pangsa pasar yang empuk bagi masyarakat internasional. Tingginya jumlah penduduk serta pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi hingga menarik minat para kapitalis dunia. Bahkan saat ini ASEAN tengah menggandeng Cina, Jepang, Korea Selatan (ASEAN +3), India, Australia dan New Zealand (ASEAN +6) untuk perluasan kerjasama dalam bidang perdagangan. Dengan kesepakatan perdagangan bebas antar negara tersebut, maka sirkulasi barang-barang produksi yang beredar akan semakin mudah dan murah. Disatu sisi masyarakat akan ditawari pilihan yang lebih beragam. Namun, bagaimana dengan produsen-produsen kecil domestik yang tidak mampu bersaing hingga kancah internasional?

Dalam laporan statistik ASEAN per November 2012[2], terlihat bahwa hampir sebagian besar hubungan perdagangan, ekspor-impor produk yang dilakukan negara-negara anggota lebih banyak dilakukan terhadap negara-negara di luar ASEAN. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerjasama regional yang dilakukan tidak dilakukan secara efektif dan maksimal. Padahal jika dilakukan perdagangan intra-ASEAN maka biaya distribusi yang dilakukan akan lebih murah. Terdapat faktor lain yang dimungkinkan adalah kerjasama regional ini lebih bersifat kompetitif dibandingkan upaya untuk saling melengkapi kebutuhan antar negara anggota. Adanya kesamaan mayoritas produk antar negara menjadi salah satu faktor persaingan tersebut. Seharusnya, jika ketahanan pemenuhan kebutuhan internal regional dapat saling mendukung maka kerjasama regional ini dapat menjadi entitas regional yang tidak kalah dengan EU.

Untuk menghindari makin melemahnya kekuatan ekonomi dalam negeri, pemerintah sendiri seharusnya memberi regulasi yang tegas dan tepat guna dalam membekali persaingan internasional yang semakin ketat. Dengan kekayaan alam yang melimpah seharusnya pemerintah dapat memberi kebijakan-kebijakan untuk mengutamakan hasil produk-produk agraris dalam negeri dan menyaring impor-impor yang tidak perlu. Pemerintah kurang memprioritaskan kepentingan-kepentingan rakyatnya. Di sisi lain, sudah mulai terbentuk mentalite dalam masyarakat bahwa produk-produk impor pasti lebih baik dari pada produk dalam negeri.

Apakah masyarakat Indonesia sudah siap dengan adanya kerjasama regional? Dengan momentum ASEAN Community 2015, bagaimana bangsa Indonesia menghadapi serangan yang datang dari masyarakat ASEAN? Tentu pertanyaan lain muncul, apa dan bagaimana para calon pemimpin bangsa kita sudah siap menghadapi tantangan tersebut?

Dari begitu banyak tantangan di atas, tentu sesungguhnya tersimpan peluang yang jauh lebih banyak lagi. Antara peluang dan tantangan, mari saling 'membantu', mem-politisasi regional dan me-regionalkan 'politik'.

Grup Diskusi FC9 Liberal Arts - Forum Indonesia Muda
Penyusun: Armyta Rahardhani, M.Si – Asisten Peneliti di European Partnership Research Center UI




[1] http://www.bloomberg.com/video/63081396-indonesia-s-natalegawa-interview-on-diplomacy.html
[2] http://www.asean.org/images/2013/resources/statistics/external_trade/table18.pdf