Membentuk politik
regional
Berdiskusi tentang politik tak hanya dapat dilihat dari satu
sisi. Politik tak hanya terjadi dalam pemerintahan, organisasi, atau
lembaga-lembaga hukum suatu negara, namun juga dapat terjadi dalam lingkup
sosial terkecil yaitu keluarga. Berpolitik dinilai sebagai suatu langkah
pragmatis yang ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu oleh para aktor yang
berperan. Dalam berpolitik aktor-aktor yang berperan dapat berupa individu
maupun negara/pemerintahan. Politik dapat terjadi dalam hubungan antar aktor
domestik maupun internasional.
Dalam ilmu hubungan internasional, politik regional merupakan
salah satu wujud paradigm neo-liberalisme (Viotti and Kauppi 2010, 121). Dalam
paradigma liberalis klasik, hubungan tersebut dilihat dari adanya inter-dependency
(saling ketergantungan) antar negara dalam bidang ekonomi dan dianggap dapat
menghindarkan perang. Seiring berjalannya waktu, beberapa scholar berpendapat
bahwa ekonomi hanya sebagian kecil dari sekian banyak aspek kehidupan
masyarakat, antara lain sosial, budaya, pendidikan, dll. Karena itu, hubungan
antar negara tidak hanya dapat dilihat dari kerjasama ekonomi. Adanya politik
regional menunjukkan bahwa kerjasama yang terjadi antar negara-negara tersebut
memiliki kepentignan yang sama (mutual
interests) setelah ditimbang dengan rasionalitas masing-masing negara dalam
lingkup area tertentu.
Beberapa "aliansi" internasional yang bekerjasama
dalam tingkat regional antara lain the European Union (EU) sejak
tahun 1951, South Asian Association for Regional Cooperation (SEAARC) sejak
tahun 1983, Commonwealth of Independent States (CIS) sejak tahun
1991, Visegrad, ASEAN sejak tahun 1967, the African Union sejak
tahun 2001 etc. Hampir setiap kerjasama regional selalu
berlatar belakang kerjasama ekonomi. Dari beberapa kerjasama
politik regional tersebut, Visegrad merupakan salah satu contoh regionalisme
dalam regional EU. Visegrad terdiri dari Hungaria, Republik Ceska, Polandia dan
Slovakia yg berada di region Eropa Tengah. Berawal dari nostalgia sejarah dan
persamaan nasib, keempatnya membentuk Visegrad th 1991 sebagai upaya untuk
saling mendorong agar dpt masuk ke EU dan tetap bekerjasama untuk menyatukan
pendapat untuk dapat mempengaruhi keputusan dalam EU.
Kerjasama politik regional biasanya banyak dilakukan oleh
negara-negara yang bertetangga, dengan latar belakang sejarah yang sama, atau
dengan tujuan yang sama. Uni Eropa dapat mempertahankan perdamaian yang terjadi
di wilayah mereka dengan adanya politik regional. Dengan makin maraknya
globalisasi, maka kekuatan regional diperlukan untuk sebagai benteng dari
"serangan global" masyarakat internasional. Namun, jika tiap negara
anggota tidak memiliki kesiapan dan ketahanan kuat dalam kerjasama regional
tersebut, maka negara anggota lain akan dengan mudah "mencaplok" dan
mengatur yang lemah, contoh Yunani dalam Uni Eropa.
Indonesia dalam
Percaturan Politik Regional
Negara anggota ASEAN |
Indonesia menjadi salah satu bagian dalam politik regional di
ASEAN. Beberapa pengamat politik mengatakan bahwa ASEAN sering dianggap sebagai
talkshop dimana para pemimpin negara anggota hanya sekedar mengadakan summit
tanpa upaya lebih lanjut untuk meningkatkan hubungan kerjasama antar anggota.
Akhirnya, pada tahun 2008, dibentuk Piagam ASEAN sebagai landasan kuat untuk
membentuk ASEAN Community dengan beberapa pilar kerjasama di
bidang ekonomi, politik dan keamanan, dan sosial budaya. ASEAN Community akan
ditandai dengan adanya momentum free movement of modal, jasa,
investasi, pekerja, dan barang. Dengan adanya kebebasan ini, maka kita dapat
dengan mudah jalan-jalan keliling ASEAN, bekerja di negara ASEAN, memiliki
peluang pasar yang lebih luas, dll. Jika dilihat dari potensi
negara-negara anggota yang sebagian besar memiliki potensi dalam makanan dan
produk agrikultur, dengan kemudahan dan diperoleh dari ASEAN Community, maka
tingkat kompetisi dalam masyarakat akan semakin ketat. Besarnya gap kualitas antar
negara anggota juga menumbuhkan keraguan dalam kerjasama tersebut. Sebagai
warga negara Indonesia, saya pribadi menyangsikan kesiapan masyarakat, terutama
dengan tingkat intelektual rendah, dalam menghadapi kenyataan bahwa
"kran" telah terbuka, sehingga perlu adanya peningkatan kualitas SDM
agar mereka tidak tenggelam dalam arus ASEAN Community.
Bukan hanya tentang ekonomi, politik regional ASEAN akan
berlanjut pada kerjasama politik dan keamanan, serta sosial budaya. Sejauh ini,
pemerintah Indonesia belum benar-benar menunjukkan sosialisasi tentang ASEAN
Community ke masyarakat. Sementara negara lain sudah berusaha untuk mengenal
budaya negara-negara anggota ASEAN dengan mempelajari bahasanya, bangsa ini masih
disibukkan dengan kasus-kasus perebutan harta dan tahta di pemerintahan Bahkan
media juga jarang sekali mengangkat topik tentang ASEAN Community. Di sisi lain,
peran Indonesia sebagai salah satu inisiator dalam ASEAN Community sangat
besar. Selain itu Indonesia juga turut berperan dalam penyelesaian konflik yang
masih memanas atas Laut Cina Selatan. Di tengah peliknya situasi dan kondisi
dalam negeri, perlukah kita mencari celah dan peluang di kawasan regional?
Pentingkah kerjasama regional untuk bangsa Indonesia?
Dalam konflik Laut Cina Selatan (LCS), Indonesia melalui Menteri
Luar Negeri memilih jalur diplomasi preventif untuk meredam konflik negara-negara
tersebut (Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, Taiwan dan Cina) yang sama-sama
mengklaim kepemilikan kepulauan yang ada di sekitar LCS. Posisi Indonesia untuk
tetap berada dalam zona netral serta dorongan untuk menyelesaikan konflik
dengan damai. Indonesia tidak ingin memanaskan hubungan baik dengan Cina. Di
sisi lain Indonesia juga ingin menjaga stabilitas keamanan situasi dan kondisi
wilayah ASEAN[1].
Karena itu, Indonesia bersedia menfasilitasi perbincangan damai penyelesaian
konflik tersebut. Namun, apakah upaya tersebut berhasil? Atau upaya tersebut
menimbulkan kekhawatiran tersendiri hingga dibutuhkan balance of power antar negara-negara konflik dengan pembelian
persenjataan yang cukup massive oleh negara-negara tersebut.
ASEAN sebagai satu entitas tunggal merupakan pangsa pasar yang
empuk bagi masyarakat internasional. Tingginya jumlah penduduk serta
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi hingga menarik minat para kapitalis
dunia. Bahkan saat ini ASEAN tengah menggandeng Cina, Jepang, Korea Selatan
(ASEAN +3), India, Australia dan New Zealand (ASEAN +6) untuk perluasan
kerjasama dalam bidang perdagangan. Dengan kesepakatan perdagangan bebas antar
negara tersebut, maka sirkulasi barang-barang produksi yang beredar akan
semakin mudah dan murah. Disatu sisi masyarakat akan ditawari pilihan yang lebih
beragam. Namun, bagaimana dengan produsen-produsen kecil domestik yang tidak
mampu bersaing hingga kancah internasional?
Dalam laporan statistik ASEAN per November 2012[2], terlihat bahwa hampir
sebagian besar hubungan perdagangan, ekspor-impor produk yang dilakukan
negara-negara anggota lebih banyak dilakukan terhadap negara-negara di luar
ASEAN. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerjasama regional yang dilakukan tidak
dilakukan secara efektif dan maksimal. Padahal jika dilakukan perdagangan
intra-ASEAN maka biaya distribusi yang dilakukan akan lebih murah. Terdapat
faktor lain yang dimungkinkan adalah kerjasama regional ini lebih bersifat
kompetitif dibandingkan upaya untuk saling melengkapi kebutuhan antar negara
anggota. Adanya kesamaan mayoritas produk antar negara menjadi salah satu
faktor persaingan tersebut. Seharusnya, jika ketahanan pemenuhan kebutuhan
internal regional dapat saling mendukung maka kerjasama regional ini dapat
menjadi entitas regional yang tidak kalah dengan EU.
Untuk menghindari makin melemahnya kekuatan ekonomi dalam
negeri, pemerintah sendiri seharusnya memberi regulasi yang tegas dan tepat
guna dalam membekali persaingan internasional yang semakin ketat. Dengan
kekayaan alam yang melimpah seharusnya pemerintah dapat memberi
kebijakan-kebijakan untuk mengutamakan hasil produk-produk agraris dalam negeri
dan menyaring impor-impor yang tidak perlu. Pemerintah kurang memprioritaskan
kepentingan-kepentingan rakyatnya. Di sisi lain, sudah mulai terbentuk mentalite dalam masyarakat bahwa
produk-produk impor pasti lebih baik dari pada produk dalam negeri.
Apakah masyarakat Indonesia sudah siap dengan adanya kerjasama
regional? Dengan momentum ASEAN Community 2015, bagaimana bangsa Indonesia
menghadapi serangan yang datang dari masyarakat ASEAN? Tentu pertanyaan lain
muncul, apa dan bagaimana para calon pemimpin bangsa kita sudah siap menghadapi
tantangan tersebut?
Dari begitu banyak tantangan di atas, tentu sesungguhnya
tersimpan peluang yang jauh lebih banyak lagi. Antara peluang dan tantangan,
mari saling 'membantu', mem-politisasi regional dan me-regionalkan 'politik'.
Grup Diskusi FC9 Liberal Arts - Forum Indonesia Muda
Penyusun: Armyta
Rahardhani, M.Si – Asisten Peneliti di European Partnership Research Center UI
No comments:
Post a Comment