Permulaan
Islam mulai masuk di Prancis pada akhir abad ke-19. Sedangkan Islam mulai
diakui sebagai sebuah agama oleh masyarakat Prancis pada tahun 1905. Beberapa
umat Islam dan masyarakat Prancis memiliki pandangan yang sama tentang perilaku
anti-Semitism.
Jumlah Muslim di Perancis lebih kurang mencapai 4-6
juta jiwa, yaitu setara dengan 5-10%[1]
dari total populasinya. Jumlah ini merupakan prediksi karena Muslim di Perancis
semakin bertambah, seiring dengan banyaknya imigran dari negara-negara penuh
konflik di sekitar Eropa dan Timur Tengah. Jumlah Muslim di Perancis merupakan
jumlah terbanyak di Eropa, disusul Jerman, Inggris, Italia, Spanyol dan Belanda[2].
Seiring dengan bertambahnya jumlah Muslim, kini jumlah masjid dan mushola di
Perancis diperkirakan mencapai sekitar 1600 buah. Tentu saja masjid dan mushola
tersebut tidak semuanya berbentuk bangunan megah, namun ada yang hanya berupa
gedung bekas bangunan yang sudah tidak digunakan. Akan tetapi, pada tahun 1922,
telah didirikan masjid Raya Yusuf di Paris.
·
Islam Pratiquant
Perkembangan Islam di
Perancis lebih banyak di dominasi oleh para imigran yang datang dari
negara-negara bekas jajahannya, seperti Aljazair, Libya, Maroko, Tunisia dll. Prancis
yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, merasa sedikit khawatir dengan
perkembangan Islam yang begitu pesat sejak beberapa dekade terakhir. Hampir
sebagian besar penduduk muslim di Perancis merupakan Islam pratiquant,
orang-orang yang rajin beribadah sesuai dengan ajaran. Sedangkan, para umat
Kristiani, baik Katolik maupun Protestan, bukan merupakan para pratiquant,
hanya sedikiit dari pemeluknya, karena muncul pandangan bahwa hal tersebut
bersifat kuno. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya gereja yang ditutup, bahkan
dijadikan masjid karena kehilangan jamaahnya.
Ada
pendapat bahwa kegiatan beribadah itu dianggap tidak bisa berasilimilasi dengan
lingkungan sekitar. Jadwal sholat umat muslim dianggap mengganggu terutama
dalam pendidikan atau bekerja. Banyaknya jumlah jamaah yang sholat di masjid,
bahkan sampai ke jalanan, dianggap sebagai pengganggu pengguna jalan dan tidak
toleransi. Padahal seharusnya, negara yang menjunjung tinggi demokrasi itulah
yang bertoleransi terhadap pemeluk agama lain yang sedang beribadah.
Pergeseran dalam
aplikasi nilai-nilai Islam di Perancis juga ditunjukkan dalam penyebaran
ajarannya. Sebagian penduduk yang beragama non-Islam berpendapat bahwa ajaran
Islam terlalu mengekang dan seharusnya ajaran-ajaran itu disesuaikan dengan
budaya dan gaya hidup di Perancis[3]. Terdapat dua kutub
muslim di Perancis, para imigran muslim dan generasi kedua. Penyebaran Islam
diantara para imigran dianggap sebagai usaha pembentukan diaspora muslim karena
ajarannya yang terlalu berambisi mengikuti ajaran di Arab dan sekitarnya. Sedangkan
generasi kedua merupakan umat muslim yang diajarkan agama Islam sejak lahir.
Namun, karena adanya tarik-menarik ajaran Islam mereka perlu untuk mencari
sendiri jati dirinya dalam ajaran Islam. Selain itu, dalam penyebaran
ajarannya, muslim di Prancis juga bermasalah dengan bahasa. Tentu saja
kemampuan mereka untuk menguasai bahasa Prancis dan Arab tidak sama. Hal itu
mendorong para ulama di sana untuk menyebarkan ajarannya dalam 2 bahasa. Bahkan
dalam pembacaan doa pun dilakukan dengan dua bahasa[4].
Pada
tahun 1985, didirikan Federasi Muslim Perancis, yang telah mempersatukan 540
organisasi Islam, menjembatani umat muslim dengan pemerintah, dan memberi
pengetahuan dan pendidikan Islam kepada warga yang ingin belajar. Pada awal
pembentukannya, Nicholas Sarkozy yang saat itu menjadi menteri dalam negeri
menyatakan dukungannya. Namun organisasi tersebut dianggap tidak mampu mewakili
suara umatnya. Saat ini muslim di Perancis juga memiliki Union des Organisations
Islamiques de France (UOIF) yang dinilai lebih mampu menyuarakan aspirasi umat.
Organisasi tersebut sering melakukan diskusi tentang masalah-masalah Islam
dengan mendatangkan beberapa ulama besar.
·
Sekolah-sekolah Islam di Prancis
Di tahun 2004,
pemerintah Perancis menetapkan larangan untuk memakai jilbab kepada para siswi
muslimah. Tentu saja kebijakan itu mendapat banyak respon negatif bukan hanya dari
umat muslim, namun juga masyarakat internasional serta para aktivis HAM di
dunia. Semenjak revolusi tahun 1989, Perancis dikenal dengan sistem laicite,
yang membebaskan aturan agama dari campur tangan pemerintah atau gereja. Selain
itu, Prancis juga merupakan negara sekuler yang membedakan urusan pemerintahan
dari agama. Karena itu, aturan larangan pemakaian jilbab atau atribut yang
merepresentasikan agama ditentang oleh berbagai kalangan masyarakat.
Sebagai
imbasnya, masyarakat muslim Perancis ingin mendirikan sekolah swasta dengan
aturannya sendiri. Sampai kini sedikitnya ada empat sekolah muslim swasta,
yaitu di daerah Vitrerie, pinggiran selatan Perancis, Education et Savoir di
Paris, Reussite di Aubervilliers, utara Paris,
Ibn Rushd di Lille, dan Al-Kindi di kota Lyon. Kurikulumnya disesuaikan
dengan kurikulum nasional, dengan penambahan pelajaran tentang fiqih Islam
sebagai muatan lokal.
Pada
awalnya, pembukaan sekolah tersebut mengalami kendala, karena sulit mendapatkan
ijin. Sekolah Al-Kindi misalnya, terkendala dalam ijin pengoperasian karena
dianggap tidak memenuhi standar kebersihan dan keselamatan. Namun, Pengadilan
Administratif di Lyon membatalkan penutupan sekolah itu. Menurut para pemimpin
Perancis, insiden Al-kindi justru akan mendorong masyarakat muslim untuk
membuka sekolah serupa.
·
Perkembangan Islam dalam Dunia Politik
Masalah agama,
merupakan masalah yang sensitif untuk dibahas. Namun, permasalah agama juga
bisa mempengaruhi perkembangan politik suatu negara. Begitu juga di Perancis.
Masalah
yang akhir-akhir ini muncul di Perancis adalah membludaknya imigran, yang
sebagian besar muslim, hingga menyebabkan Islam di negara ini berkembang sangat
pesat. Sejak
peristiwa kelam 11 September 2001, Islam mendapat cap baru yaitu, agama
teroris. Dengan berbagai alasan dan dalih, Amerika Serikat menjadi pelopor dan
penggerak agar dunia mengutuk dan menjauhi Islam. Ajaran Islam mulai
jilbab, poligami, jihad hingga masalah penampilan seperti jenggot, dll. menjadi
obyek serangan. Sehingga, timbullah apa yang disebut Islamophobia.
Sebagai imbasnya, pada
tahun 2001, sejumlah masjid dan rumah imam-imam masjid menjadi sasaran bom
molotov. Peraturan pelarangan penggunaan jilbab yang menjadi penanda jelas
seorang muslim pun merupakan salah satu bentuk Islamophobia. Selain itu,
beberapa kasus kriminal yang terjadi di Perancis dilakukan oleh penduduk
imigran. Karenanya, beberapa pemimpin Perancis yang ekstrim, menentang dengan
lantang masuknya imigran, karena hal tersebut dapat menghilangkan keturunan
asli warga Perancis. Marie Le Pen dan Nicholas Sarkozy menggunakan kampanye
anti imigran untuk mendapatkan perhatian rakyat Perancis pada pemilihan
presiden beberapa waktu lalu.
Permasalahan imigran
bisa berpengaruh terhadap pandangan politik rakyat Perancis ke depannya.
Apabila semakin banyak umat muslim yang memilih, maka kesempatan untuk duduk di
kursi pemerintahan bagi umat muslim juga semakin tinggi. Tentu saja hal
tersebut bisa berpengaruh terhadap peraturan-peraturan yang berlaku di Perancis.
Baru-baru ini, skandal
Muhammad Merah[5], warga Toulouse,
Muslim imigran Aljazair, telah resmi ditetapkan pemerintah sebagai penanggung
jawab skandal terbunuhnya 3 warga sipil di kota tersebut dan meledaknya bom di
sekolah Yahudi yang memakan korban 3 orang anak dan 1 orang dewasa. Semuanya
Yahudi. Sementara 2 diantara warga sipil yang ditembak adalah Muslim imigran
Magreban. Tariq Ramadan, seorang ulama ternama dari Swiss mengatakan bahwa
pelaku hanya sebagai korban konspirasi elit politik Perancis. Pelaku penembakan
itu, tidak bisa dianggap sebagai generalisasi warga muslim di Perancis karena
perilakunya sama sekali tidak mencerminkan ajaran-ajaran muslim.
Islam di Perancis kini
telah berkembang dengan pesat. Pengenalan ajaran Islam yang cinta damai, bermoral
tinggi dan bersifat melindungi wanita menjadi daya tarik tersendiri bagi
masyarakat Perancis. Diperkirakan setiap tahun, ada sekitar 30.000-70.000
penduduk Perancis masuk Islam. Dengan jumlah umat muslim yang semakin
bertambah, maka fasilitas-fasilitas yang sesuai dengan ajaran Islam semakin
mudah ditemukan. Masjid, sekolah, penjual daging halal sudah bisa banyak
ditemui di wilayah Perancis. Namun, pandangan-pandangan tentang Islam datang
dari luar menimbulkan pandangan skeptis atas masyarakat muslim di Perancis
hingga menimbulkan Islamophobia. Padahal hal tersebut tidak bisa digunakan
sebagai acuan generalisasi perwujudan dari perilaku muslim sesungguhnya.
[1] https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/fr.html
(accessed on 22 May 2012).
[2] http://hizbut-tahrir.or.id/2009/07/27/islam-di-prancis-terbesar-di-eropa/
(accessed on 22 May 2012).
[3] Bowen,
John. R. Islam in/of France: Dilemma of
Translocality. A paper read at The 13th International Conference of
Europeanists, Chicago, March 14-16, 2002.
[4] Ibid.
No comments:
Post a Comment