Kali ini saya tidak ingin membahas tentang cara penjurian, atau proses seleksi nominasi film-film yang mendapat nominasi dalam FFI11. Saya melihat acara pembacaan nominasi-nominasi film untuk FFI 2011 sore ini. Dibagi jadi dua sesi: pembacaan nominasi Piala Vidia dan Piala Citra. Piala Vidia adalah penghargaan untuk film-film yang diputar di layar kaca, sedangkan Piala Citra adalah penghargaan untuk film-film di layar lebar.
Tidak semua film-film yang masuk nominasi itu pernah saya tonton, terutama film-film televisi, karena saya sendiri agak "trauma" dengan film-film yang diputar di layar kaca. Film-film untuk penghargaan Piala Citra pun tidak semuanya pernah saya tonton. Hanya saja ada tiga film yang menarik perhatian saya, karena saya telah menonton dan mengakui kalau film-film tersebut "super", karena ketiganya juga mendapatkan banyak nominasi dalam perhelatan penghargaan Film paling bergengsi di Indonesia. Tanda Tanya (9 nominasi), Mirror Never Lies (7 nominasi), dan Sang Penari (9 nominasi).
Tanda Tanya
adalah sebuah karya dari Hanung Bramantyo, seorang sutradara yang sering mengangkat tema-tema yang lain dari sineas-sineas lain. Lihat saja film-filmnya Ayat-ayat Cinta (poligami), Sang Pencerah (sejarah Muhammadiyah-K.H. Ahmad Dahlan), Tendangan dari Langit (semangat keolahragaan), dan masih banyak film lain yang dihasilkannya. Kali ini Hanung bermain tema keanekaragaman SARA dalam film Tanda Tanya. Film ini dibintangi oleh sejumlah aktor dan aktris yang sudah tidak diragukan lagi keahlian aktingnya. Sebut saja Reza Rahardian (Soleh), Revalina S. Temat (Menuk), Agus Kuncoro (Surya), Endhita (Rika), Rio Dewanto (Hendra), dan Hengky Sulaiman (Tan Kat Sun). Terbukti dengan diperolehnya 9 nominasi dalam FFI 2011 ini, maka film yang bertemakan keanekaragaman ini berkualitas dan sangat disayangkan jika dilewatkan. Teknik pengambilan gambar yang mengambil setting kota Semarang ini pun dikemas apik. Namun, karena banyaknya tokoh-tokoh dalam film ini, banyak pula alur cerita yang ingin dirangkai, maka peran para pemain cenderung datar. Meskipun tema yang diangkat kontroversial, karena terlalu banyak bintang di film itu dan tiap pemain memiliki jam terbang akting yang tinggi, maka kurang terlihat. Seakan-akan tak ada yang spesial dari para pemain, akting tiap karakter terlihat biasa saja. Hanya menurut saya, akting Agus Kuncoro sebangai pemain pria pembantu, terlihat lebih mengena. Dan benar saja, Agus mendapatkan nominasi sebagai pemeran pria pembantu terbaik. Namun, secara keseluruhan, tema, lighting, image-editor was amazing and amusing!!
Mirror Never Lies
Tadinya saya ragu untuk menonton film ini. Kalau bukan orang spesial yang mengajak untuk menonton, saya mungkin tidak akan menonton film ini. :) Film ini menceritakan kehidupan kampung suku Bajo di tengah laut Wakatobi. Diceritakan tentang seorang anak, Pakis (Gita Lovalista) berumur lebih kurang 12 tahun, hidup bersama ibunya Tayung (Atiqah Hasiholan). Ayah Pakis dikisahkan pergi berlayar, namun tak kunjung kembali. Sebenarnya Tayung mulai merelakan suaminya karena kemungkinan dia selamat dari badai di laut kecil, namun Pakis tetap percaya bahwa ayahnya akan kembali. Dia percaya, sesuai dengan kepercayaan masyarakat Bajo, bahwa dengan melihat melalui cermin yang selalu dibawa-bawa kemana pun, dia dapat bertemu dengan ayahnya. Dalam film ini juga diceritakan ada Tudo (Reza Rahardian~peneliti lumba2) dan Lumo teman Pakis yang selalu setia menemani dan mendukung dalam setiap kondisi melengkapi konflik2 dalam film ini. Film karya Kamila Andini ini secara keseluruhan lebih mengekspose budaya dan keseharian suku Bajo dan keindahan laut Wakatobi. Alur cerita yang tidak begitu jelas dan tak banyak dialog dalam film ini, hanya sebagai pelengkap. Pengambilan sudut gambar yang apik seputar keindahan alam Wakatobi mendorong penonton untuk berwisata kesana. Mirror Never Lies (Laut Bercermin) merupakan satu-satunya perwakilan dari Asia Tenggara dalam Festival Film Mumbai tahun 2011. Pemilihan Wakatobi dalam film ini terbilang unik dan original karena belum ada yang mengangkat daerah ini sebelumnya. Tak heran kalau film ini mendapat nominasi untuk Sutradara, Sinematografi, Penulisan skenarion serta cerita asli terbaik. Dan saya ucapkan terimakasih kepada orang spesial tersebut.. ;)
Sang Penari
Dengan munculnya film ini di 9 nominasi #FFI2011 saya sedikit tercengang. Memang film ini bagus, sarat makna dan nilai kebudayaan, tapi Sang Penari yang baru rilis 10 Nopember 2011 ini memperoleh sebagian besar nominasi yang diperebutkan. Terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, Ifa Isfansyah ingin mengangkat kebudayaan dan kehidupan masyarakat daerah Banyumas ketika revolusi tahun 1965. Film ini menggambarkan kehidupan masyarakat pada zaman itu, dan banyak kalangan yang memanfaatkan kebodohan rakyat untuk mencapai kepentingan prbadinya. Film ini dapat digunakan sebagai sebuah sindiran untuk masyarakat pada era sekarang, agar kita lebih berhati-hati terhadap orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu untuk pribadi. Masyarakat harus dapat membedakan kehidupan masa lalu dimana fasilitas dan teknologi penyiaran masih dianggap sebagai barang mewah dan masa kini dimana kita dapat mengakses informasi dengan cepat dan akurat: bahwa kita jangan sampai dibodohi, dan harus melindungi khasanan budaya bangsa. Peran Rasus (Oka Antara) dan sang Ronggeng, Srinthil (Prisia Nasution) dimainkan dengan apik oleh para pemainnya. Mereka mampu memakai aksen dan bahasa Banyumasan dengan cukup baik. Sang ronggeng pun, yang rela mengorbankan jiwa dan raganya demi mengabdi untuk tanah kelahirannya, untuk penduduk dukuh setempat, diperankan dapat menampilkan tarian khas daerah tersebut dengan luwes. Tak heran mereka masuk nominasi sebagai pemeran pria dan wanita terbaik. Film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton karena banyak sekali moral value di dalamnya. Kalau Anda tertarik dengan novel aslinya, silakan download di sini.
Satu hal yang pasti, perkembangan film-film di Indonesia akhir-akhir ini semakin menunjukkan perubahan yang positif. Di tengah produksi film-film yang, menurut saya tidak memiliki "nilai tonton" banyak pula produksi anak bangsa yang sarat makna. Saya pun mengakui watched-movie-list saya tidak begitu lengkap. Hidup Film Indonesia!! (^,^)
-M-
saya hanya menonton 2 film.tanda tanyadan sang penari. dan keduanya film yg cukup "berani" ..*tidak heran penayangannya sempat menjadi kontroversi. jika merujuk novel aslinya, film sang penari menginterpretasikan *cukup* vulgar. banyak scene yg bisa di perhalus. menghindari konsumsi yg tidak tepat oleh remaja. mengingat kita tidak di mintai KTP saat membeli tiket. o_O
ReplyDeletesaya bingung ketika hanung bramantyo d hujat habis2an krn film ini.karena saya rasa dia hanya mengangkt yg pernah terjd d masyarakat. y memang ada hal yg salah disampekan,seperti majid menara yg seharusnya hanya untuk pria d gambarkan berbeda, yakni ada jg kaum wanita.
seharusnya film yg udh berlabel dewasa itu TIDAK ditonton remaja..tp emg penonton Indonesia yg suka "nakal"
ReplyDeletehmm..saya akui film Sang Penari lebih berani dari film yang lain..tp mgkn Hanung mau menggambarkannya sesuai di novel..kata mas Dawa yg di novel lbh dan lebih lagii.. :)